
Ir Firman Syaifuddin SSi MT, salah satu pakar dari Departemen Teknik Geofisika ITS mengingatkan masyarakat tentang pentingnya mengetahui mitigasi bencana sebagai kewaspadaan. Foto: Humas ITS
Visiokreatif.com – Jakarta. Hujan deras yang mengguyur berbagai daerah di Indonesia akhir-akhir ini kerap memicu bencana tanah longsor, terutama pada daerah pegunungan. Terbaru, longsor menerjang wilayah Kabupaten Trenggalek dan Lawang, Malang, Jumat (18/4) kemarin.
Melihat kondisi ini, salah satu pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Ir Firman Syaifuddin SSi MT mengingatkan pentingnya masyarakat mengetahui tentang upaya mitigasi bencana, termasuk tanah longsor tersebut.
Firman menjelaskan bahwa longsor terjadi ketika tanah, batu, atau puing bergerak turun karena gaya gravitasi yang lebih besar daripada kekuatan penahan lereng. Menurut Firman, longsor dapat terjadi di berbagai lokasi, namun daerah dengan kemiringan tebing yang curam memiliki risiko yang lebih besar.
“Tebing menjadi rawan longsor diakibatkan oleh kemiringan utamanya, terlebih jika tersaturasi air maka beban dari massa batuan atau tanah lapuk yang akan semakin berat,“ tutur dosen Departemen Teknik Geofisika ITS tersebut, Sabtu (19/4)?
Firman menambahkan bahwa hujan lebat merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor di Indonesia. Ia menerangkan bahwa saat hujan turun dengan intensitas tinggi, air hujan masuk ke dalam lapisan tanah dan membuatnya jenuh air.
“Kondisi ini menambah beban dari lapisan tanah dan batuan yang jika melewati daya dukungnya akan mengakibatkan longsor,” sambung alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut.
Tak hanya itu, Firman melanjutkan bahwa hujan juga menyebabkan peningkatan tekanan air pori di dalam tanah. Ketika air pori meningkat, tekanan hidrolik dalam tanah juga naik.
“Ini akan menurunkan kekuatan geser material di lereng dan membuatnya lebih rentan mengalami kegagalan struktur,” jelas peneliti di Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hujan sangat intens dalam waktu kurang dari 12 jam merupakan pemicu dari banyak kasus tanah longsor. Salah satunya seperti tragedi longsor yang terjadi di jalur Pacet – Cangar pada 3 April lalu, hingga menyebabkan 10 orang tewas.
“Ini dikarenakan daerah tersebut memiliki lereng curam dan lokasinya terjadi tepat di bawah aliran irigasi,” ungkapnya.
Berdasarkan hasil diskusinya dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, longsor di jalur Pacet – Cangar terjadi tepat di bawah aliran irigasi buatan. Beberapa waktu sebelum kejadian, terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan aliran irigasi sempat terbendung oleh pohon tumbang membentuk bendungan alami. Akibatnya, air tertahan dan merembes ke dalam lapisan tanah di bawahnya yang menyebabkan longsor.
Selain itu. Firman juga menyarankan kepada pemerintah untuk meningkatkan upaya mitigasi, termasuk dengan memerinci peta kerentanan gerakan tanah atau longsor.
Melalui diskusi dengan BPBD Jawa Timur, ITS akan membantu melakukan pendetailan peta kerentanan gerakan tanah atau longsor di Provinsi Jawa Timur sebagai langkah upaya mitigasi bencana longsor.
Lebih lanjut, dosen bidang Seismologi dan Kebencanaan tersebut menegaskan bahwa masyarakat perlu mengetahui daerah-daerah yang rawan longsor melalui adanya pemetaan daerah berisiko longsor.
“Pengetahuan tentang kerentanan longsor menjadi modal utama dalam membangun kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana,” ingatnya. (*)