
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar memberikan keterangan pers terkait kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan KKKS tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
Visiokreatif.com – Jakarta. Kejaksaan Agung (Kejagung) akan melibatkan ahli untuk mengusut kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun. Ahli akan diminta untuk menganalisis soal RON minyak di kasus ini.
“Iya tentu itu yang kami sampaikan tadi. Tentu kita kan juga mengharapkan ada ahli yang menjelaskan itu. Karena yang sedang kita pastikan sekarang ini antara RON dengan RON,” kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada wartawan di Gedung Kejagung, Jumat (28/2/2025).
“Karena yang sedang kita pastikan sekarang ini antara RON dengan RON. Iya kan? Tentu kan membutuhkan ahli,” sambungnya.
Hal tersebut tidak terlepas dari temuan Kejagung bahwa dalam kasus ini ada upaya mem-blending minyak RON 88 dengan RON 92. Hasil blending itu kemudian dipasarkan dengan harga RON 92.
Hal ini terungkap dari hasil pemeriksaan terbaru berujung penetapan tersangka terhadap dua orang pejabat BUMN yakni MK (Maya Kusmaya) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga dan EC (Edward Corne) selaku VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.
“Tersangka MK memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Tersangka EC untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) di terminal (storage) PT Orbit Terminal Merak milik Tersangka MKAR dan Tersangka GRJ atau yang dijual dengan harga RON 92,” kata Harli dalam keterangannya kepada awak media, Rabu (26/2/2025).
MKAR adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza. Dia merupakan Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa. Sementara GRJ adalah Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.
“Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core business PT Pertamina Patra Niaga,” kata Harli.
Sebelum blending itu, MK dan EC ini atas persetujuan RS (Riva Siahaan) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah menggunakan harga setara RON 92.
Sehingga menyebabkan impor produk kilang dengan harga tinggi tapi tidak sesuai kualitas barangnya.
Lalu, ada juga persetujuan mark up kontrak pengiriman sehingga negara harus mengeluarkan 13-15% fee lebih besar. Hal-hal tersebut, pada 2023 saja, diduga telah merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun. Belum diketahui jumlah kerugian negara total dari 2018-2023. Angkanya masih dihitung. (*)